Pernahkah kamu merasa sudah menjalani proses rekrutmen dengan baik—dari mengirim CV, mengikuti wawancara, bahkan sampai sesi psikotes—namun tiba-tiba perekrut berhenti memberikan kabar? Kamu menunggu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tapi tak ada kejelasan. Selamat datang di fenomena yang dikenal sebagai “ghosting” oleh rekruter.
Fenomena ghosting bukan hanya terjadi dalam hubungan personal. Dalam dunia kerja, ghosting oleh perusahaan rekrutmen maupun rekruter internal kerap terjadi dan meninggalkan rasa frustrasi bagi para pencari kerja. Tapi apa sebenarnya yang menyebabkan rekruter melakukan ghosting? Mari kita kupas lebih dalam.
Ghosting oleh rekruter merujuk pada situasi di mana perekrut tiba-tiba berhenti memberikan kabar atau respons kepada kandidat setelah proses perekrutan berjalan. Bisa jadi sebelumnya kamu sudah diwawancara, dihubungi HR, bahkan diberikan harapan besar—namun komunikasi itu berhenti tanpa alasan yang jelas.
Dalam dunia rekrutmen, kebutuhan perusahaan bisa berubah sewaktu-waktu. Posisi yang sebelumnya dianggap mendesak bisa saja ditunda atau dibatalkan karena perubahan anggaran, perombakan struktur organisasi, atau restrukturisasi internal. Sayangnya, tak semua perusahaan rekrutmen menyampaikan pembatalan ini secara transparan.
Rekruter—baik dari internal perusahaan maupun dari headhunter—sering kali harus menyaring ratusan hingga ribuan pelamar. Fokus biasanya diberikan pada kandidat yang dianggap paling sesuai. Kandidat lain yang tidak terpilih bisa saja tidak mendapat update karena keterbatasan waktu dan sumber daya.
Dalam kasus kerja sama dengan headhunter di Indonesia, rekruter kadang hanya menjadi perantara antara kandidat dan klien (perusahaan yang mencari karyawan). Jika pihak klien belum memberikan tanggapan atau keputusan, rekruter pun tidak punya informasi yang cukup untuk diberikan kepada kandidat.
Tidak semua perusahaan rekrutmen memiliki sistem atau budaya kerja yang memastikan kandidat mendapat update. Padahal, komunikasi yang baik sangat penting untuk menjaga reputasi dan profesionalisme rekruter.
Ada kalanya setelah proses wawancara atau tes, rekruter menilai bahwa kandidat tidak memenuhi ekspektasi atau kebutuhan posisi. Namun, alih-alih memberikan umpan balik, mereka memilih untuk tidak menghubungi kembali.
Ghosting dapat menurunkan kepercayaan diri kandidat, menciptakan ketidakpastian, dan memperlambat pencarian kerja. Hal ini juga berdampak negatif terhadap citra perusahaan atau headhunter yang bersangkutan. Di era digital saat ini, pengalaman buruk kandidat bisa tersebar luas melalui media sosial dan platform seperti LinkedIn atau Glassdoor.
Sebagai bagian dari grup HRnetGroup yang sudah berpengalaman di Asia, RecruitFirst Indonesia berkomitmen untuk memberikan pengalaman rekrutmen yang manusiawi dan transparan. Tim mereka tak hanya membantu perusahaan menemukan talenta terbaik, tetapi juga memastikan kandidat mendapatkan komunikasi yang jelas dan profesional sepanjang proses rekrutmen.
Dengan pendekatan yang personal dan berbasis data, RecruitFirst Indonesia berusaha menjembatani kesenjangan antara perusahaan dan pencari kerja. Mereka menghindari praktik ghosting dan selalu berupaya memberi informasi secepat mungkin kepada kandidat—baik kabar baik maupun tidak.
Ghosting memang menyakitkan, terutama jika kamu sudah menaruh harapan besar. Tapi di balik semua itu, penting untuk memahami bahwa dunia rekrutmen sangat dinamis, dan bukan semua hal ada dalam kendali rekruter.
Untuk kamu yang ingin mencari peluang karier tanpa drama ghosting, bekerja sama dengan perusahaan rekrutmen dan headhunter profesional seperti RecruitFirst Indonesia bisa jadi pilihan terbaik.
Hubungi kami di RecruitFirst Indonesia dan temukan kesempatan karier terbaikmu dengan dukungan tim rekrutmen yang profesional dan responsif!